Jakarta –
Berbagai peristiwa politik yang terjadi akhir-akhir ini seolah bagaikan puzzle yang dapat dirangkai. Namun, proses merangkainya tentu tidak mudah. Membutuhkan banyak bahan dan analisis yang tajam, sehingga potongan-potongan narasi yang berkembang dan juga menggelembung bagai balon dapat dimaknai dengan baik. Proses untuk menemukan berbagai rangkaian mozaik ini mesti dimaknai dengan jernih sebagai upaya untuk menghentikan politisasi isu yang berkembang menjadi tidak menentu.
Perebutan kekuasaan sejak zaman Yunani kuno merupakan bentuk ekspresi ketidakpuasan sekelompok elite dengan kelompok elite lainnya. Ketidakpuasan ini tidak dapat diekspresikan hanya dengan mengandalkan kekuatannya sendiri. Mereka harus mampu merangkul kekuatan yang jauh lebih besar atau setidaknya potensial untuk membesar. Maka, kaum elite pun akhirnya berlomba-lomba untuk meraih simpati massa atau pendukung. Semakin besar pendukung, secara otomatis kalkulasi atas jumlah setidaknya dapat menjadi perbandingan yang memiliki posisi tawar yang tinggi.
Pola itu terus menerus berkembang sampai hari ini. Di abad milenial ini, kita masih berhadap-hadapan pada proses dinamika kekuasaan yang dianggap manis. Perseteruan dan perang isu yang digunakan bukan hanya membuat publik bingung, namun juga muncul distorsi informasi yang berpotensi menimbulkan hoax. Taburan hoax ini diperparah dengan adanya kebebasan dalam bermedia sosial dan juga adanya “kecerdasan” sapiens untuk selalu mencari celah dari kelemahan sistem yang ada.
Pola ini juga dimanfaatkan orang yang tidak bertanggung jawab dalam mempersiapkan buzzer atau pasukan siber yang merupakan proxy tidak terdeteksi untuk dapat menggalang opini massa melalui media sosial. Keberlanjutan informasi memang sekarang ini banyak yang bertumpu pada media alternatif.
Setelah sekian lama setidaknya sejak medio 1900-an, kita dilingkupi oleh media transmiter kuno dengan nama radio dan televisi yang cenderung berkomunikasi secara searah. Lalu menginjak milenial ini kita dihadapkan pada media yang sangat baru dan memiliki kelebihan interaktif. Sehingga semua itu memunculkan kebiasaan baru yaitu percakapan bahkan perdebatan yang terjadi melalui kanal media, sehingga kebenaran tidak dapat lagi dimonopoli secara tunggal.
Dari Mereka
Sejatinya, perseteruan yang ada baik berupa konflik politik dan lainnya yang sekarang ini kita nikmati merupakan konflik antarmereka. Mereka di sini adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan tarik-menarik dengan kekuasaan. Artinya, para pihak yang terlibat sebenarnya tidak jauh-jauh dari lingkaran elite politik. Hal ini bagi insan yang bergelut dalam dunia politik adalah hal yang sangat biasa. Namun, jika dikonsumsi oleh masyarakat awam, maka urusannya menjadi lain.
Bagi para insan yang bergelut dalam dunia politik, perseteruan yang ada hanyalah dinamika, dan tidak perlu digarisbawahi sebagai sesuatu yang “serius”. Karena pada akhirnya konflik itu akan menghasilkan konsensus sendiri. Itulah mengapa konflik dalam politik senantiasa menemukan titik equlibriumnya sendiri. Dan, medan konflik baru akan muncul ketika titik equilibrium ini terganggu.
Orang awam secara sederhana akan menganggap bahwa bagi-bagi kursi adalah solusi dari konsensus misalnya, namun sejatinya bukan itu saja. Banyak sekali konsensus dalam politik yang ujungnya menghasilkan integrasi, sehingga tidak menciptakan konfrontasi yang menimbulkan kerusakan. Di sinilah seharusnya elite politik tidak mengumbar konfliknya di media secara terbuka.
Konflik secara terbuka akan ditafsirkan para pengagum buta untuk melebarkan dan mengobarkan konflik lebih sengit dan menghadap-hadapkan masyarakat pada kondisi konflik yang berbahaya. Apalagi jika konflik terbuka itu dibumbui oleh buzzer yang tidak bertanggung jawab. Bisa jadi karena hoax buzzer akan timbul konflik terbuka yang justru membahayakan integrasi masyarakat.
Oleh Mereka
Penciptaan isu-isu politik yang dilakukan oleh elite politik hanyalah umpan. Umpan itu dilontarkan dalam forum yang besar dengan harapan direspons oleh publik. Publik yang cerdas dapat memilah dan memilih mana informasi yang layak konsumsi, sedangkan pihak yang awam akan memakan informasi itu secara bulat tanpa melakukan cek dan ricek serta filter.
Dengan keberagaman tingkat pendidikan yang ada di negara kita dan juga gemarnya mayoritas kita berusaha eksis di media maya, maka dengan sekejap satu posting-an akan berubah menjadi beribu-ribu komen atau bahkan share dan tidak dapat lagi dikendalikan. Fakta yang banyak kita ketahui betapa berita yang viral dengan sekejap dibaca dan di-share secara cepat oleh orang lain, dan sekali hal itu beredar di dunia maya maka tidak dapat dihentikan lagi.
Banyak sekali pelajaran karena hoax dan malasnya mengecek kebenaran akhirnya terjadi konflik, bahkan yang ekstrem sampai menghilangkan nyawa manusia. Inilah persoalan kita dan perlu publik tahu bahwa tidak semua informasi harus kita mamah dan telan. Kita harus selalu melihat secara jernih; jadilah masyarakat yang teredukasi melalui kecerdasan dalam memamah informasi sehingga tidak larut dalam glorifikasi dan pengagungan pada satu kebenaran yang kita yakini absolut.
Sekali lagi, penciptaan yang ada terkait dengan isu politik hanyalah pertarungan elite yang tidak memiliki efek pada seluruh lapisan publik. Kecerdasan untuk menimbang dan menyaring informasi diperlukan dengan kadar yang baik. Hal itu juga dapat menjembatani informasi yang putus atau tidak lengkap atas suatu peristiwa. Pola yang sama juga bisa dilakukan oleh setiap orang dengan tidak cepat percaya dengan hal yang ada sekarang ini, khususnya yang tidak berhubungan langsung dengan kepentingan publik.
Mereka yang bertarung dalam wacana politik itu adalah bagian yang saling mempengaruhi, mengagitasi, dan juga mencoba menguasai satu sama lain sehingga dalam situasi tertentu yang tidak dapat memunculkan titik keseimbangan, maka yang terjadi adalah konflik.
Untuk Mereka
Untuk dapat meraih simpati opini, publik, dan juga reaksi publik, perlu dibuat glorifikasi atas tokoh atau persoalan. Pada ujungnya akan ada pembeda dengan porsi saling klaim. Misalnya, kelompok saya adalah penyelamat kelompok, kelompok lain adalah pembuat onar; kelompok saya yang paling bersih, kelompok sana penghasil koruptor; kelompok saya yang paling Indonesia, sedangkan yang satunya sebaliknya; dan sebagainya.
Pola ini terus akan dimainkan sebagai decoy yang bagi sebagian pihak yang tidak cermat akan terjerumus dan ikut arus. Sebenarnya, pengelolaan isu dan opini yang berhamburan bagai air musim hujan adalah upaya para elite yang mencoba untuk menggalang reaksi publik. Khususnya yang cerewet ini adalah kaum kelas menengah perkotaan yang paling vokal pada pemerintah dan juga sebaliknya.
Kelompok yang lain yang juga memiliki pendapat serta intelektual selayaknya tidak mengikuti langgam perdebatan di dalam isu yang periferi. Itulah mengapa para kaum terpelajar seharusnya mampu memposisikan dirinya tidak larut dalam debat, namun mencoba untuk memberikan pencerahan pengetahuan bagi publik. Publik yang tercerahkan akan semakin mengerti dan paham bagaimana cara hidup di alam demokrasi.
Dalam demokrasi kita tidak boleh cepat mengklaim yang paling benar dengan menuduh yang lainnya salah. Di alam demokrasi juga kebebasan dan hak asasi dijamin oleh konstitusi sehingga tidak seorang pun atau bahkan negara dapat menghilangkan hak itu dengan begitu saja.
Sekali lagi, mari kita sadar bahwa konflik sesungguhnya ada di luar sana, bukan dalam rumah besar Indonesia kita. Seandainya pertengkaran dalam rumah Indonesia ini masih berlangsung, maka kapankah kita akan mendapatkan ketenangan dan harmoni dalam rumah kita sendiri. Mari kembali bersatu membangun Indonesia, apalagi di masa pandemi ini. Biarlah isu elite menjadi konsumsi mereka, kita cukup mengawal dan memastikan negara hadir untuk mengayomi dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
Arief Hidayat alumni Pascasarjana Departemen Politik dan Pemerintahan UGM
(mmu/mmu)